Tujuh Kada Termasuk Gubernur Maluku Ajukan Gugatan

Gugatan Ke MK Terkait Masa Jabatan
Ilustrasi Persidangan di MK
Ilustrasi Persidangan di MK

Gubernur Maluku Irjen. Pol Murad Ismail bersama enam kepala daerah lainnya mengajukan judicial review Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.


Para kepala daerah yang bersatu mengajukan judicial riview yakni ; Gubernur Maluku, Murad Ismail; Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak; Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto; Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim; Wali Kota Gorontalo, Marten A. Taha; Wali Kota Padang, Hendri Septa; dan Wali Kota Tarakan, Khairul.

Melansir Tempo. Gugatan yang diajukan oleh tujuh kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota teregistrasi dengan Nomor 143/PUU-XXI/2023. Gugatan itu pada intinya meminta agar MK mengubah frasa dalam Pasal 201 ayat 5 UU Pilkada.

Dalam frasa 201 ayat 5 UU Pilkada berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.”

Kuasa hukum penggugat, Donal Fariz mengatakan, frasa itu merugikan para pemohon karena, masa jabatan yang diemban oleh para pemohon menjadi berkurang, tidak 5 tahun sesuai amanat konstitusional.

"Pilkadanya pak Bima dan pak Dedie (Wali dan Wakil Wali Kota Bogor) tahun 2018, tapi baru dilantik April 2019. Nah itu problemnya, menjadi tidak konsisten normanya," kata Donal di Mahkamah Konstitusi, Rabu 15 November 2023.

Donal mengatakan, dalam surat keputusan atau SK yang dipegang oleh para kepala daerah yang mengikuti Pilkada 2018, berakhir masa jabatannya tahun 2024. Karena dihitung menjabat setelah dilantik. 

"Kalau menggunakan penafsiran sistematis, pasal ini juga akan bertabrakan dengan UUD 1945 bahkan tidak sinkron juga dengan Pasal 162 ayat 1 dan 2 UU Pilkada yang menyebutkan masa jabatan kepala daerah selama 5 tahun terhitung sejak pelantikan bukan sejak pemungutan," kata Donal. 

Untuk itu, kata Donal, para kliennya itu meminta agar frasa Pasal 201 ayat 5 UU Pilkada direvisi oleh MK dengan agar dapat disesuaikan dengan konstitusional yang berlaku. 

"Kami minta frasa Pasal 201 ayat 5 itu disebutkan tidak hanya stop di 2023 saja. Tetapi berakhir mengukur tanggal pelantikan. Jadi pelantikan di April 2019 itu mestinya berakhir di April 2024," kata Donal. (*)